Edukasi Hukum Alat Bukti Perdata dan Pidana menurut Asst. Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPLCE

Edukasi Hukum Alat Bukti Perdata dan Pidana menurut Asst. Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPLCE

Pengertian Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

Definisi Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa

Menurut M. Yahya Hararap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menyatakan, bahwa alat bukti (bewijsmiddle) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberikan keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.

jenis –jenis alat bukti yang menjadi serta diperlukan dalam perkara Perdata maupun perkata Pidana.

Perkara Perdata
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH  Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:

Alat Bukti Hukum Acara Perdata

Pasal 1866 Burgerlijk Wetboek :

Bukti tulisan
Bukti dengan Saksi-saksi
Persangkaan-persangkaan
Pengakuan
Sumpah
Alat Bukti Hukum Acara Pidana

Alat bukti Hukum Acara Pidana dahulu diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya disebutkan sebagai berikut :

– Keterangan saksi;
– Surat-surat;
– Pengakuan;
– Tanda-tanda (petunjuk).

Sedangkan dalam KUHAP, macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :

Alat bukti yang sah ialah :

– Keterangan saksi;
– Keterangan ahli;
– Surat;
– Petunjuk;
– Keterangan terdakwa.

Selain alat buti yang diatur dalam Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata, terdapat alat bukti tambahan yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kini sudah direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Salah satu pintu masuk pengakuan alat bukti elektronik, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Menurut Undang-Undang ini informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan hasil cetakanya merupakan ‘alat bukti hukum yang sah’. Struk belanja atau hasil cetakan dari mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), misalnya, sudah bisa dijadikan bukti di persidangan.

Meskipun alat bukti elektronik sudah lazim dipergunakan dalam dunia peradilan tetapi, kata Made, perlu ada landasan hukum acara khusus yang menguatkannya. Jika dasarnya jelas dan kuat, hakim tak perlu ragu-ragu memutuskan kekuatan suatu alat bukti yang bersifat elektronis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *