Edukasi Hukum ” Officium Nobille. Seorang Advocad oleh Dr.Dwi Seno wijanarko

Dalam sebuah paparannya Dr.Dwi Seno Wijanarko SH MH Cpcle menjelaskan
Sebuah Protokol persidangan dan keamanan merupakan sub bagian dari sistem peradilan yang mempengaruhi meningkatnya sebuah kepercayaan publik (Public Trust), wibawa dan martabat peradilan

Peradilan sering disebut benteng terakhir Penegakan Hukum namun demikian benteng tersebut seringkali diterobos oleh kepentingan pribadi oleh oknum penegak hukum, pihak berperkara, dan masyarakat umum ” Ucap Dr Seno pada hari Minggu 29 Agustus 21.

Upaya menerobos benteng keadilan dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu pertama,adanya Kehilangan Integritas Hakim karena faktor materi maupun alasan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Independence Of The Judiciary sehingga mengorbankan rasa keadilan kepastian hukum dan kemanfaatan. Kedua, Kehilangan Rasa Hormat terhadap lembaga peradilan, karena kurangnya kesadaran hukum, pola budaya hukum dan lemahnya sistem hukum yg ada

Sistem peradilan yang mempengaruhi meningkatnya kepercayaan publik (Public Trust), wibawa dan martabat peradilan Public Trust dapat terukur melalui statistik jumlah perkara tertentu yang diajukan ke pengadilan dan berdasarkan persepsi masyarakat mengenai peradilan, sedangkan wibawa dan martabat peradilan merupakan wujud nyata keadaan dan pelayanan peradilan kepada masyarakat.

Lebih lanjut Founder LawFirm DSW & Partner Asst Prof Dr Dwi Seno Wijanarko.SH.MH CPCLE mengatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], wibawa memiliki arti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi serta dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.

Wibawa peradilan dimulai pada saat seseorang akan memasuki wilayah pengadilan, jadi ketika gedung pengadilan terlihat seperti bangunan tua tidak terurus maka dapat muncul persepsi negatif soal peran pengadilan mewujudkan keadilan dan setelah masuk wilayah pengadilan dan masuk ruang sidang maka perlu adanya protokol persidangan dan keamanan yang baik sebagaimana termuat lengkap dalam Perma 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan.

Oleh karena itu Keberadaan Perma ini, sejalan dengan maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court “.

Menurut Dr Seno rumusan penjelasan Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut menghendaki adanya pengaturan khusus mengenai kualifikasi dan sanksi bagi Contempt Of Court, selain yang telah diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dan menurut Pakar Hukum Pidana Dr Dwi Seno Wijanarko SH MH Cpclebahwa Contempt of court adalah adanya perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan, kesemuanya berasal dari pengembangan kasus dan doktrin yang meliputi sub judice rule (usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan peradilan), disobeying a court order (tidak mematuhi perintah pengadilan), scandalizing in court (skandal dalam peradilan) dan misbehaving in court (tidak berkelakuan baik dalam peradilan baik melalui sikap atau ucapannya).

Namun demikian ” upaya mencegah misbehaving in court akan mempengaruhi perubahan pola budaya hukum di pengadilan, misalnya larangan pengunjung berbicara di ruang persidangan akan mencegah siap acuh pada saat berada di ruang sidang sehingga wibawa peradilan terjaga. dan kualifikasi misbehaving in court diatur dalam ketentuan Pasal 4 Perma 5 Tahun 2020 “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), ayat (11), ayat (12), ayat (14), ayat (15), ayat (16), ayat (18) dan ayat (19) serta Pasal 3 ayat (5), ayat (7), ayat (10), dan ayat (12) dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap Pengadilan”.
“Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya ” tutup Dr.Seno.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *