Saksi Mahkota / Kroon Getuige adalah terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah (splitsing) dan kemudian bergantian menjadi saksi. Praktik pengambilan kesaksian yang demikian menurut Andi Hamzah adalah kekeliruan besar karena bertentangan dengan larangan self-incrimination. Larangan self-incrimination diatur didalam pasal 14 ayat (3) huruf g Intsrnational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nokor 12 Tahun 2005. Pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa : dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya setiap orang yang berhak atas jaminan jaminan minimal berikut ini, dalam dalam persamaan yang penuh untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah.
hal ini dimengerti dengan logika sederhana bahwa dengan kewajiban seseorang saksi untuk bersumpah, maka seseorang terdakwa yang kemudian dipaksa bersaksi dalam sebuah perkara maka dia akan dipaksa untuk mengikuti tindak pidana yang dituduhkan pada mereka. sayang sekali praktik saksi mahkota yang demikian masih digunakan secara luas di Indonesia hingga saat ini akan tetapi ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang menolak menggunakan saksi mahkota ini. contoh putusan Mahkamah Agung yang menolak menggunakan saksi mahkota adalah putusan Mahkamah Agung dengan nomor 1147 K/Pid/1994, 381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994 dalam kasus pembunuhan Marsinah titik putusan-putusan tersebut menyatakan bahwa saksi mahkota bertentangan dengan hukum. praktik Saksi mahkota tersebut dapat diperbandingkan dengan saksi mahkota di pengadilan Belanda dari para pelaku, akan dipilih seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan itu lalu dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Hal ini dapat pula dipertimbangkan dengan plea bargain di Amerika serikat yang memberikan pengurangan hukuman bagi terdakwa yang mengakui kesalahannya atau Justice collaboration yang diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung nomor 04 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana dan dan saksi pelaku yang bekerjasama di dalam perkara tindak pidana tertentu dalam Sema tersebut diatur bahwa Justice collaboration adalah salah satu dari pelaku tindak pidana tertentu yang diakui oleh sema tersebut. yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
terhadap Justice collaboration ini diberikan perlakuan sebagai bentuk tanda terima kasih yakni dijatuhkan pidana percobaan Bersyarat khusus dan atau pidana penjara paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah walaupun untuk tindak pidana khusus (narkotika terorisme pencucian uang korupsi dan lain-lain saja) namun Justice collaboration adalah bentuk terobosan hukum di Indonesia. Mengapa Justice collaboration Tidak Dianggap bertentangan dengan HAM karena adanya kesepakatan dari terdakwa tersebut jadi tidak ada paksaan dirinya mengakui kejahatannya
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan berupaya meningkatkan kesadaran hukum kepada masyarakat. Salah satunya dilakukan…
Segenap Jajaran Pimpinan dan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Mengucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia…
Tangerang, Sabtu (27/07/24) pukul 09.00 - 13.00 wib Pembuat Undang Undang dan aturan untuk kesejahteraan…
Tangerang_Jumat (12/7/24) Dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan (STIH…
Tangerang_(Jumat, 05/07/2024) STIH PAINAN melaksanakan Acara Audiensi dan Sosialisasi kepada Kepala Desa dan Staff Perangkat…
Tangerang_Jumat, (21/06/2024) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan bekerja sama Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia…