Ditulis oleh: Dr H Muchsin Mansyur S.Pel SH MH
Kriminalisasi pelaut telah diamati sebagai fenomena yang berkembang dalam dekade tahun-tahun akhir ini , menghadirkan gambaran meningkatnya tanggung jawab atas Nakhoda meskipun tanggung jawab mereka pada dasarnya tetap tidak berubah dalam beberapa generasi hukum maritim .
Selama periode yang sama , struktur lingkungan maritim tempat mereka bekerja telah berubah secara dramatis , karena manajemen operasi laut telah berubah dengan evolusi yang kompleks dari Kepemilikan dan Manajemen Armada , mengaburkan identifikasi semua pihak dalam kasus pertanggungjawaban pidana.
Ini semua tentang manajemen dan tanggung jawab ,siapa yang akan disalahkan ? bagaimana memeriksa tanggung jawab Nakhoda untuk keselamatan kehidupan di laut dan perlindungan lingkungan laut yang telah berkembang menjadi fungsi manajemen risiko yang membuat mereka bertanggung jawab jika terjadi peristiwa hukum atau korban dan kerugian.
Pada akhirnya , hanya satu orang yang dapat mengambil tanggung jawab manajemen untuk peristiwa hukum tersebut , yang tentu saja , adalah Master atau nakhida , membuat mereka bertanggung jawab secara hukum atas konsekuensinya . Akuntabilitas inilah yang menempatkan mereka di kapal dan pelabuhan atau dermaga .
Dalam Pengadilan yang berlangsung , mereka dapat dianggap telah memenuhi tanggung jawab mereka sebagai pemegang otoritas penuh atas kendali kapal dan dampak hukumnya ,dan kadang harus berhadapan menurut hukum Negara tempat mereka diadili , dalam hal mana mereka akan dibebaskan namun jika mereka gagal untuk membuktikan hal mana menjadi delik yang memberatkan mereka tentu hukuman menanti, bagaimanapun mereka akan dimintai pertanggungjawaban , dan dihukum sesuai dengan kewenangan Pengadilan .
Evolusi kompleks dalam struktur lingkungan maritim itulah yang memunculkan fenomena kriminalisasi ,namun , secara paradoks , Master adalah orang yang paling tidak mampu mempengaruhi perubahan tersebut , setelah melihat fitur utama akuntabilitas mereka didefinisikan ulang oleh peraturan yang melayani tujuan masyarakat dalam lingkungan negara hukum dan Nakhoda adalah bagian dari subject dan object hukum tersebut, dan saat ini untuk menemukan seseorang yang harus “disalahkan” .
Hubungan antara Master dan pemilik kapal , yang memiliki pengaruh manajemen sebagai suatu entitas iklim usaha semakin berkurang, namun tanpa kehilangan tanggung jawab ,Mereka tetap Master sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial ,bukan segalanya dan bukan pula tempat segalanya berpulang tetapi semua kembali pada procedure dan aturan yang berlaku atau hukum yang mengikat.
Dihadapkan dengan peningkatan jumlah penuntutan pidana secara global dalam beberapa dekade terakhir , industri pelayaran telah menghadapi fenomena dengan kecemasan yang berkembang , konsekuensi hilir yang telah menimbulkan pertanyaan menantang proporsionalitas dan mencari ruang tanpa sekat keadilan , pertanggungjawaban pidana dalam apa yang dirasakan oleh komunitas maritim menjadi sistem yang tidak harmonis di seluruh dunia khususnya Indonesia .
Kiranya para PPN mengkaji fenomena kriminalisasi modern yang dihadapi Master dalam perilaku profesionalnya , baik dalam hal hak dan kewajiban Negara Bendera maupun Negara Pelabuhan , yang patut direnungkan inti dari pertanyaan itu , menuntut pemahaman tentang bagaimana konsep peradilan pidana telah berkembang dalam akuntabilitas yang berhadapan Nakhoda / Master .
Akuntabilitas semacam itu secara logis harus ditentukan oleh satu prinsip yang menjadi dasar penilaian kita terhadap semua tindakan . Mengingat tanggung jawab Nakhoda atas kapal dan keselamatan jiwa di bawah hukum Negara Bendera , seimbang dengan ( kadang – kadang bertentangan dengan ) tanggung jawab komersial kepada majikan mereka sang pemilik kapal, tunduk pada kewajiban untuk mematuhi hukum Negara Pelabuhan dan pantai ke dalam yurisdiksi mana kapal itu berlayar , kemungkinan memudar untuk definisi satu prinsip peradilan pidana yang dapat diterapkan secara konsisten di banyak yurisdiksi di mana Nakhoda mungkin mendapat masalah . Ini adalah proses evolusi pertanggungjawaban pidana di seluruh yurisdiksi ini , didefinisikan dan diterapkan oleh aturan moral yang berbeda sesuai dengan etika normatif masyarakat yang berubah serta hukum yang mengaturnya, yang telah menempa proses yang diidentifikasi oleh komunitas maritim nasionql atau pun global sebagai fenomena kriminalisasi .
Oleh karena itu , sangat jelas bahwa persepsi keadilan dalam komunitas maritim yang mengglobal sejak jaman dahulu hingga abad kedua puluh satu bergantung pada penyelenggaraan peradilan itu , yang mungkin ditafsirkan oleh jiwa yang jujur sebagai memberikan keadilan bagi semua orang yang mengakses sistem hukum . Namun , proses peradilan telah berkembang sebagai alat untuk melayani tujuan tertentu , dan untuk mencapai itu , Negara telah menggunakan hukum pidana dalam yurisdiksi kedaulatannya .
CULPA para Pejabat yang patut diduga Lemahnya di ASN Kemenhub yaitu Syahbandar dan oknum penegak hukum di laut yang tidak sesuai keilmuanya, maka begini runutanya sehingga berpotensi merusak ekonomi bahkan potensi delik pidana.
Potensi terjadi (Culpa),
dalam peraturan perundang – undangan kealpaan dg istilah seperti : diantaranya ; Schuld dan Culpa; schuld dan culpa yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti kesalahan. Adapun definisi kealpaan dalam arti sempit yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat seperti kesengajaan atau dapat dikatakan perbuatan yang kurang berhati – hati sehingga mengakibatkan terjadinya sesuatu yang tidak disengaja.
Penjelasan tentang culpa termuat dalam Memory van Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda (Land Raad) mengajukan rancangan undang – undang hukum pidana, hal mana dalam pengajuan rancangan itu terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kelalaian sebagaimana berikut di bawah ini :
Kekurangan pemikiran yang diperlukan; Kekurangan pengetahuan atau pengertian yang diperlukan; dan Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari.
Seorang Syahbandar adalah kompetensi “matang” dengan ilmunya mewakili wibawa Pemerintah dan Keputusannya adalah Besichink.
Dalam aturan tentang ASN terkait sistem “merit” sudah sangat baik .maka jika semua berjalan potensi kriminalisasi pelaut akan terhindari di ruang keadilan.
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan berupaya meningkatkan kesadaran hukum kepada masyarakat. Salah satunya dilakukan…
Segenap Jajaran Pimpinan dan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Mengucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia…
Tangerang, Sabtu (27/07/24) pukul 09.00 - 13.00 wib Pembuat Undang Undang dan aturan untuk kesejahteraan…
Tangerang_Jumat (12/7/24) Dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan (STIH…
Tangerang_(Jumat, 05/07/2024) STIH PAINAN melaksanakan Acara Audiensi dan Sosialisasi kepada Kepala Desa dan Staff Perangkat…
Tangerang_Jumat, (21/06/2024) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan bekerja sama Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia…