PENEGAKAN HUKUM ATAS PENCEMARAN LAUT AKIBAT KEGIATAN PELAYARAN KAPAL DI PERAIRAN BAYAH LEBAK BANTEN (SUATU ANALISIS DARI PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN)

PENEGAKAN HUKUM ATAS PENCEMARAN LAUT AKIBAT KEGIATAN PELAYARAN KAPAL DI PERAIRAN BAYAH LEBAK BANTEN
(SUATU ANALISIS DARI PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN)

Penulis : Dr. H. Muchsin Mansyur, S.Pel., S.H., M.H.
Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Ketua Kampanye Nasional BAPPILU DPP Partai BERKARYA
Kaprodi Pasca Sarjana STIH PAINAN Banten
Wakil Ketua Bidang Kemaritiman, Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia DPP APDHI
Penasehat Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia DPP IKPPNI
Waketum Bidang Hukum Advokasi dan Tarif Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia DPP APBMI (Jasa Pelayaran/Maritim).
Pengurus DPP PRAMARIN

PERMASALAHAN

Detik News Lebak – Sebuah video memperlihatkan badan kapal tongkang patah terjadi di Dermaga Pelabuhan Bayah, Lebak Selatan, Banten, viral di media sosial. Muatan bahan baku semen (clinker) di kapal tumpah ke laut.

Dilihat Rabu (13/7/2022), video berdurasi 25 detik yang viral itu memperlihatkan situasi kapal patah tepat di bagian tengah. Tampak ekskavator di atas kapal berupaya mengevakuasi muatan clinker di atas kapal.

Kepala Wilayah Kerja Pelabuhan Bayah pada Kantor UPP Labuan, Muhamad Ace, membenarkan peristiwa kapal tongkang patah itu. Insiden itu terjadi pada Senin (11/7) sekitar pukul 04.20 WIB.

Baca artikel detiknews, “Kapal Tongkang Muatan Clinker Patah di Dermaga Pelabuhan Bayah” selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-6176708/kapal-tongkang-muatan-clinker-patah-di-dermaga-pelabuhan-bayah.”

Detik News Lebak – Sebuah video memperlihatkan badan kapal tongkang patah terjadi di Dermaga Pelabuhan Bayah, Lebak Selatan, Banten, viral di media sosial. Muatan bahan baku semen (clinker) di kapal tumpah ke laut.

Dilihat Rabu (13/7/2022), video berdurasi 25 detik yang viral itu memperlihatkan situasi kapal patah tepat di bagian tengah. Tampak ekskavator di atas kapal berupaya mengevakuasi muatan clinker di atas kapal.

Kepala Wilayah Kerja Pelabuhan Bayah pada Kantor UPP Labuan, Muhamad Ace, membenarkan peristiwa kapal tongkang patah itu. Insiden itu terjadi pada Senin (11/7) sekitar pukul 04.20 WIB.

Baca artikel detiknews, “Kapal Tongkang Muatan Clinker Patah di Dermaga Pelabuhan Bayah” selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-6176708/kapal-tongkang-muatan-clinker-patah-di-dermaga-pelabuhan-bayah.”

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM ATAS PENCEMARAN LAUT
Indonesia merupakan negara maritim sehingga pengangkutan laut mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan kepulauan Nusantara dan menggerakan perekonomian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), merefleksikan negara kesatuan dari seluruh pulau yang ada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita harus bangga visionernya Mr. Djuanda dalam Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu adalah Djuanda Kartawidjaja, deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Indonesia secara berkesinambungan memandang perlu dilaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP PPPLH) Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pencemaran laut sebagai kejadian yang tidak dikehendaki oleh manusia terutama bagi orang-orang yang kehidupannya bersumber dari laut. Sekalipun pencemaran laut ini tidak dikehendaki pencemaran laut akibat dari kapal merupakan peristiwa yang tidak terlelakkan (inevitable phenomenon).
Salah satu wilayah terparah pencemaran lingkungan lautnya yang terdampak dari kegiatan transportasi laut adalah Banten Selatan ,karena wilayah ini ramai dilalui oleh kapal dan barge atau tongkang. Kondisi geografis wilayah ini sangat ramai dilalui moda laut sehingga rawan dan cuaca yang kurang mendukung sehingga dapat terjadi tubrukan dan kandasnya kapal. Penegakan hukum pencemaran lingkungan di wilayah Selatan Banten merupakan instrumen perdata, khususnya di Indonesia kurang disenangi orang, karena berlarut-larutnya proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Hampir semua kasus perdata pada akhirnya di lempar pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi, karena selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan, ada kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan segala upaya hukum, bahkan walaupun kurang beralasan biasa terus pula ke Peninjauan Kembali. Sesudah ada putusan kasasi pun masih juga sering sulit sekali putusan itu dilaksanakan. Penegakan hukum lingkungan akan menjadi titik silang penggunaan instrumen hukum perdata (kaitannya dengan hak dan kewajiban, pertanggungjawaban, ganti kerugian, perbuatan melanggar hukum, dan kontrak hukum). Hukum lingkungan merupakan hukum fungsional karena bertujuan untuk menanggulangi pencemaran, pengurusan, perusakan lingkungan sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah, dan nyaman bagi seluruh rakyat.
Penegakan hukum terkait tubrukan dan kandasnya kapal yang bersinggungan dengan pencemaran maritim apa lagi jika pencemaran diakibatkan oleh kapal asing tentu menyangkut kedaulatan hukum Indonesia . Gambaran mengenai kedaulatan secra lebih jelas dikemukakan oleh J.G. Starke, menyatakan bahwa: “the sovereignty of a state means the residuum of power which it posseses within the confines laid down by international law”. J.G. Starke juga mengemukakan bahwa tingkat kedaulatan dan kemerdekaan dari tiap-tiap negara satu sama lain. Terdapat negara yang menikmati kekuatan atas kedaulatan dan kemerdekaannya dari negara-negara lain. Starke menyatakan bahwa sebagai suatu negara yang merdeka, maka negara tersebut memiliki sejumlah hak, kewenangan dan kewajiban dalam hukum internasional. Pemahaman tentang konsep kedaulatan negara ini sangat membantu dalam mencermati dan mengevaluasi kedudukan negara dalam konteks hubungan internasional yang sangat dinamis. Lebih lanjut menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Kedaulatan hukum yang menganggap bahwa negara itu sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk kepada hukum. Dalam hal ini, konsep kedaulatan (sovereignty) sebenarnya tidak memiliki kejelasan definisi, namun semua pengertian mengenai kedaulatan umumnya merujuk kepada kehidupan kenegaraan (statehood). Secara umum, pengertian kedaulatan biasanya dikaitkan dengan kekuasaan negara terhadap suatu wilayah dan masyarakat, serta relasi antarsatu negara dengan negara lainnya.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Tanggung jawab dengan kewajiban memberikan ganti kerugian ini dikarenakan adanya kesalahan pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Hal ini sejalan dengan sistem hukum perdata kita yang menganut tanggung jawab berdasarkan kesalahan (schuld aansprakelijkheid atau liability based on fault), Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Asas tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan didasarkan pada adagium bahwa tidak ada tanggung jawab apabila tidak terdapat unsur kesalahan (no liability without fault). Tanggung jawab demikian, disebut pula dengan “tortious liability”. Pada umumnya ketentuan ganti kerugian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk pemulihan keadaan semula akibat tindakan tersebut;
2. Untuk pemenuhan hak seseorang, di mana suatu peraturan perundang-undangan menentukan bahwa seseorang berhak atas suatu ganti kerugian apabila telah terjadi sesuatu yang dilarang;
3. Ganti kerugian sebagai sanksi hukum; dan
4. Sebagai pemenuhan ketentuan undang-undang, dalam arti bahwa undang-undang tidak merumuskannya sebagai hak seseorang, namun undang-undang menyatakannya sebagai kewajiban.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindunga dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengamanatkan adanya perintah ganti rugi atau melaksanakan perbuatan lainnya guna memulihkan lingkungan yang rusak atau tercemar. Kedua konsep tanggung jawab yaitu tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan tanggung jawab seketika (strict liability) yang dianut dalam Pasal 87 UU PPLH, mengatur mengenai tanggung gugat pencemaran lingkungan hidup pada umumnya yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum, sedangkan Pasal 88 UU PPLH, mengatur mengenai tanggung gugat pencemaran lingkungan hidup yang bersifat khusus, yaitu tanggung jawab mutlak. Berdasarkan Penjelasan Pasal 88 UUPPLH, yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Menurut Arnold H. Loewy, dalam buku Criminal Law memberi keterangan tentang strict liability sebagai berikut:
“Strict liability occurs when a conviction can be obtained merely upon proof that defendant perpetrated an act forbidden by statute and when proof by defendant that the utmost of care to prevent the act would be no defence.
(Tanggung jawab mutlak diterapkan tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan jika dibuktikan oleh terdakwa bahwa ia telah melakukan segala usaha untuk mencegah perbuatan, tidaklah merupakan pembelaan)”.

Dengan demikian, tetap harus dibuktikan terjadinya akibat, yaitu pencemaran atau perusakan lingkungan. Yang tidak perlu dibuktikan adalah unsur kesalahan (unsur sengaja atau kelalaian). Prinsip pencemar membayar merupakan model pengalokasian dan pengurangan kerusakan lingkungan dan permintaan pertanggungjawaban dari pihak pencemar, baik individu, perusahan maupun negara untuk menanggung pembiayaan atas terjadinya pencemaran. Pada sekitar tahun enam puluhan, E.J. Mishan memperkenalkan polluters-pay-principle yang menyebutkan bahwa pencemar semata-mata merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindari. Kemudian prinsip ini mulai dianut dan dikembangkan oleh Negara-negara Anggota Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization of Economic Co-operation and Development/OECD), yang pada pokoknya berpendapat bahwa pencemar harus menanggung beban atau biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan. Selanjutnya kaitannya dengan prinsip pertanggungjawaban negara dalam sistem hukum internasional sering didefinisikan secara umum, sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku, yang terhadapnya, Negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain. Hukum internasional yang juga sering disebut dengan hukum Bangsa-bangsa ini. Pada hakikatnya, menurut Grotius, berada dalam ranah normatif yang mengatur hak dan kewajiban antara entitas yang disebut bangsa atau Negara yang satu dengan Negara bangsa yang lain dalam kancah pergaulan internasional. Perdebatan kemudian muncul dalam melihat hubungan antara hukum bangsa-bangsa dengan hukum nasional dari suatu bangsa tertentu. Kompleksitas dari hal tersebut akan semakin bertambah pada saat terdapat benturan berupa pertentangan-pertentangan normatif antara kedua hukum tersebut.
Aktivitas penggunaan kawasan peeairan maritim sebagai jalur perdagangan nasional dan internasional harus memperhatikan keseimbangan lingkungan laut harus sesuai dengan Article 145 UNCLOS 1982. Tindakan-tindakan yang perlu berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan harus diambil sesuai dengan UNCLOS 1982 untuk menjamin perlindungan yang efektif terhadap lingkungan laut dari akibat-akibat yang merugikan yang mungkin timbul dari kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk tujuan ini Otoritas dasar laut harus menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang tepat, salah satunya yaitu perlindungan dan konservasi kekayaan-kekayaan alam kawasan dan pencegahan kerusakan terhadap flora dan fauna lingkungan laut. Tanggung jawab kepada negara yang benderanya berkibar di atas kapal diatur dalam Article 194 ayat (2) UNCLOS 1982, yang menyatakan:
“States shall take all measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause damage by pollution to other States and their environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this Convention”.

Adapun beberapa konvensi Internasional yang mengatur tentang pencemaran laut yang bersuber dari tumpahan minyak kapal seperti International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (CLC 1969), Fund Convention 2003, The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL), International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC), UNCLOS 1982 dan terhadap pencemaran laut terdapat tanggung jawab negara bendera dan korporasi untuk melakukan pengendalian pencemaran pertama kali saat terjadinya tumpahan minyak serta tanggung jawab mutlak bagi pemilik kapal yang melakukan pencemaran tanpa perlu membuktikan unsur kesalahannya berdasarkan ketentuan Article 235 UNCLOS 1982, yang menyatakan:
1. States are responsible for the fulfilment of their international obligations concerning the protection and preservation of the marine environment. They shall be liable in accordance with international law.
2. States shall ensure that recourse is available in accordance with their legal systems for prompt and adequate compensation or other relief in respect of damage caused by pollution of the marine environment by natural or juridical persons under their jurisdiction.
3. With the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the implementation of existing international law and the further development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damage and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development of criteria and procedures for payment of adequate compensation, such as compulsory insurance or compensation funds.

Dalam hal terjadi kecelakaan kapal maka akan menimbulkan tanggung jawab dari pemilik kapal terhadap negara yang wilayah perairannya tercemar, hal ini dapat terjadi karena negara dirugikan oleh pencemaran minyak yang tumpah dari kapal. Pertanggungjawaban ini dapat ditinjau dari peraturan hukum internasional dan nasional. Di mana Article 194 ayat (2), 235 ayat (1) dan ayat (2) UNCLOS 1982, menentukan yang bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan laut adalah negara yang benderanya berkibar di atas kapal. Jadi negara-negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 memiliki kewajiban dalam menjaga lingkungan laut dan apabila negara melanggar kewajiban ini maka negara memiliki tanggung jawab terhadap pencemaran yang terjadi termasuk yang berasal dari akibat kapal yang bertabrakan. Namun ketentuan-ketentuan di dalam UNCLOS 1982 hanya berupa perintah dan di dalamnya tidak dibuat secara terperinci perihal nilai ganti rugi yang dapat di klaim oleh negara atau orang yang menderita kerugian karena perairannya tercemar sehingga tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pertanggungjawaban dan ganti rugi negara atas pencemaran yang terjadi. Pertanggungjawaban hukum mengenai yurisdiksi pidana dalam perkara tabrakan laut atau tiap insiden pelayaran lainnya diatur dalam ketentuan Article 97 UNCLOS 1982 yang menyatakan:
1. In the event of a collision or any other incident of navigation concerning a ship on the high seas, involving the penal or disciplinary responsibility of the master or of any other person in the service of the ship, 60 no penal or disciplinary proceedings may be instituted against such person except before the judicial or administrative authorities either of the flag State or of the State of which such person is a national.
2. In disciplinary matters, the State which has issued a master’s certificate or a certificate of competence or licence shall alone be competent, after due legal process, to pronounce the withdrawal of such certificates, even if the holder is not a national of the State which issued them.
3. No arrest or detention of the ship, even as a measure of investigation, shall be ordered by any authorities other than those of the flag State.

Lebih lanjut menurut UNCLOS 1982, setiap negara pantai memiliki yurisdiksi terhadap samudera dan lautan, batasan-batasan dari setiap yurisdiksi tersebut diatur oleh perundang-undangan nasional yang harus sesuai dengan hukum internasional. Pada dasarnya, UNCLOS 1982 membagi zona-zona laut serta menspesifikasikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. Sedangkan pengaturan terhadap pengendalian pencemaran pertama kali merupakan tanggung jawab mutlak bagi pemilik kapal diatur dalam Article III CLC 1969, yang menyatakan bahwa:
1. Except as provided in paragraphs 2 and 3 of this Article, the owner of a ship at the time of an incident, or where the incident consists of a series of occurrences at the time of the first such occurrence, shall be liable for any pollution damage caused by oil which has escaped or been discharged from the ship as a result of the incident.
2. No liability for pollution damage shall attach to the owner if he proves that the damage:
a. resulted from an act of war, hostilities, civil war, insurrection or a natural phenomenon of an exceptional, inevitable and irresistible character, or
b. was wholly caused by an act or omission done with intent to cause damage by a third party, or
c. was wholly caused by the negligence or other wrongful act of any Government or other authority responsible for the maintenance of lights or other navigational aids in the exercise of that function.
3. If the owner proves that the pollution damage resulted wholly or partially either from an act or omission done with intent to cause damage by the person who suffered the damage or from the negligence of that person, the owner may be exonerated wholly or partially from his liability to such person.
4. No claim for compensation for pollution damage shall be made against the owner otherwise than in accordance with this Convention. No claim for pollution damage under this Convention or otherwise may be made against the servants or agents of the owner.
5. Nothing in this Convention shall prejudice any right of recourse of the owner against third parties.

Dalam upaya pencegahan, pengurangan, serta pengendalian pencemaran lingkungan, sebagaimana diatur oleh Article 197-201 UNCLOS 1982, menyatakan bahwa:
1. States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standards and recommended practices and procedures consistent with this Convention, for the protection and preservation of the marine environment, taking into account characteristic regional features.
2. When a State becomes aware of cases in which the marine environment is in imminent danger of being damaged or has been damaged by pollution, it shall immediately notify other States it deems likely to be affected by such damage, as well as the competent international organizations.
3. In the cases referred to in article 198, States in the area affected, in accordance with their capabilities, and the competent international organizations shall cooperate, to the extent possible, in eliminating the effects of pollution and preventing or minimizing the damage. To this end, States shall jointly develop and promote contingency plans for responding to pollution incidents in the marine environment.
4. States shall cooperate, directly or through competent international organizations, for the purpose of promoting studies, undertaking programmes of scientific research and encouraging the exchange of information and data acquired about pollution of the marine environment. They shall endeavour to participate actively in regional and global programmes to acquire knowledge for the assessment of the nature and extent of pollution, exposure to it, and its pathways, risks and remedies.
5. In the light of the information and data acquired pursuant to article 200, States shall cooperate, directly or through competent international organizations, in establishing appropriate scientific criteria for the formulation and elaboration of rules, standards and recommended practices and procedures for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment.

Negara harus melakukan kerja sama regional maupun global. Provisi ini sejalan dengan prinsip co-operation dalam salah satu prinsip hukum lingkungan internasional. Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah untuk mengatur prosedur dan praktik dalam tindakan pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut. Setiap negara dapat mengamati, mengatur, menilai dan menganalisa berdasarkan metode ilmiah yang dibakukan mengenai risiko atau akibat pencemaran lingkungan laut dan mengawasi pengaruh dari setiap kegiatan yang Negara izinkan atau di dalam kegiatan termaksud mengandung kemungkinan mencemarkan lingkungan laut. Negara harus mengumumkan atau menyampaikan laporan hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil pengamatan atau pengawasan terhadap kegiatan Negara tersebut izinkan pada waktu-waktu tertentu kepada organisasi internasional yang kompeten.
Peristiwa terjadinya kecelakaan kapal di laut dapat mengakibatkan kerugian baik secara materil maupun hilangnya nyawa orang. Atas peristiwa tersebut haruslah ada orang yang harus memikul tanggungjawab, terkecuali karena sesuatu yang bersifat faktor alam yang tidak dapat di cegah oleh manusia, misalnya terjadinya badai besar saat pelayaran. Peristiwa kecelakaan pelayaran secara umum disebabkan oleh faktor kesalahan manusia diantaranya Pemilik/Pengusaha Kapal; Syahbandar, nakhoda maupun pihak-pihak lain yang dapat mengakibatkan kecelakaan kapal. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 34 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran), keselamatan kapal dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian, bahwa Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal yang berukuran lebih dari 7 GT, kecuali untuk kapal perang, kapal negara dan kapal yang digunakan untuk keperluan olah raga. Adapun persyaratan keselamatan kapal ini berlaku untuk setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta saat pengoperasian kapal di perairan Indonesia. Dalam Pasal 256 UU Pelayaran, kapal dinyatakan bahwa:
1. Investigasi kecelakaan kapal dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi untuk mencari fakta guna mencegah terjadinya kecelakaan kapal dengan penyebab yang sama;
2. Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap kecelakaan kapal; dan
3. Investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak untuk menentukan kesalahan atau kelalaian atas terjadinya kecelakaan kapal.

Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, dan kapal kandas. Dalam hal terjadi kecelakaan kapal, setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya harus memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal. Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib mengambil tindakan penanggulangan, meminta dan/atau memberikan pertolongan, dan menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan tersebut kepada pihak lain. Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib melaporkan kepada:
1. Syahbandar pelabuhan terdekat apabila kecelakaan kapal terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia; atau
2. Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.

Tanggung jawab atas pencemaran akibat tubrukan kapal dan kandasnya Kapal atau Barge, diatur dalam Pasal 231 UU Pelayaran, yang menyatakan:
1. Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
2. Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik atau operator kapal wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

Substansi dari kerusakan lingkungan hidup yang berasal dari industrialisasi adalah adanya keadaan lingkungan hidup yang rusak dan menimbulkan adanya kerugian baik dari sisi materiil maupun immateriil yang diderita oleh manusia ataupun makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut. Dalam hal ini, UU PPLH telah mengakomodasi serta memberikan perlindungan hak-hak bagi korban yang terdampak dari kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU PPLH yang berbunyi:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan;
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa;
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Kewajiban tindakan pencegahan dicantumkan jelas dalam UNCLOS 1982. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terdapat dalam Article 192-237. Article 192 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Dalam Article 194 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa negara harus melakukan upaya-upaya untuk mencegah (prevent), mengurangi (reduce), serta mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari sumber-sumber pencemaran. Apabila terjadi pencemaran karena kegiatan yang ada di dalam wilayahnya, negara harus memastikan bahwa pencemaran yang ditimbulkan tidak menyebar melebihi wilayah di mana negara tersebut memiliki sovereign rights. Ketentuan dalam pasal ini mencerminkan prinsip sic utere tuo et alienum non laedas untuk tidak merugikan negara lain dalam kegiatan suatu negara. Ganti kerugian kerusakan lingkungan diakibatkan tubrukan atau kapal kandas, diberikan ruang untuk mennyelesaikan permasalahan lingkungan hidup akibat kapal kandas baik melalui litigasi maupun non litigasi, UU PPLH juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pembayaran uang paksa serta ganti kerugian terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UU PPLH yang berbunyi:
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

Kelompok yang paling rentan terhadap dampak dari kerusakan lingkungan yaitu masyarakat yang berada disekitar lingkungan tersebut. Sehingga dalam hal ini, UU PPLH hadir untuk memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang terdampak dari kerusakan lingkungan tersebut. Sehingga, masyarakat diberikan afirmasi berupa hak untuk mengajukan gugatan terhadap kerusakan lingkungan. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 91 UU PPLH, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
3. Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila dicermati secara saksama berkaitan dengan penyelesaian perkara kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan UU PPLH, maka penyelesaian perkara tersebut berorientasi kepada hukum keperdataan yang dalam hal ini berbentuk perbuatan melawan hukum. Di mana pertanggungjawaban pelaku perusakan lingkungan hidup demi hukum bertanggungjawab secara mutlak (strict liability). Istilah tanggung jawab dalam arti liability dapat diartikan sebagai tanggung gugat dan merupakan bentuk spresifik dari tanggung jawab hukum menurut hukum perdata. Tanggung gugat merujuk pada posisi seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum. Dalam konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan Indonesia yang menjadi subjek pertanggungjawaban pencemaran lingkungan laut adalah negara, orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum, yang berperan sebagai nahkoda ataupun operator kapal. Dalam Protocol 1992 CLC 1969 ditentukan batas kompensasi sebagai berikut:
5. Untuk kapal dengan berat tidak melebihi 5,000 GT, tanggung jawabnya dibatasi 3 juta SDR.
6. 5. Untuk kapal dengan berat 5,000 sampai 140,000 GT, tanggung jawabnya dibatasi 3 juta SDR ditambah 420 SDR untuk setiap unit tambahan tonase.
7. 6. Untuk kapal dengan berat melebihi 140,000 GT, tanggung jawab dibatasi 59.7 juta SDR.

Lalu Protocol 1992 mengalami amandemen dan mulai berlaku pada tahun 2003, dimana batas kompensasi meningkat hingga 50 persen jika dibandingkan dengan Protocol 1992. Sedangkan landas hukum pertanggungjawaban dan ganti rugi dapat diberikan terhadap Indonesia diatur juga dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (UU ZEE), yang menyatakan bahwa: “Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul sebagai akibat pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam ditetapkan berdasarkan hasil penelitian ekologis”. Kecelakaan kapal atau tongkang di lingkungan perairan Banten Selatan menimbulkan pencemaran dan kerusakan karena masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Laut tidak sesuai lagi dengan Baku Mutu Air Laut. Lebih lanjut, penanggulangan kerusakan lingkungan yang diakibatkan tubrukan kapal atau tongkang kandas, maka Pasal 263 PP PPPLH, mengatur siapa saja yang bertanggungjawab, di antaranya adalah:
1. Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang mengakibatkan Pencemaran dan/atau Kerusakan Laut wajib melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf b.
2. Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyusun rencana penanggulangan pada keadaan darurat.
3. Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. Pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau Kerusakan Laut kepada masyarakat;
b. Pengisolasian pencemaran dan/atau Kerusakan Laut;
c. Pembersihan bahan pencemar dan/atau perusak;
d. Penghentian sumber pencemaran dan/atau Kerusakan Laut; dan/atau
e. Cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Penghentian sumber pencemaran dan/atau Kerusakan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan dengan cara:
a. Penghentian kegiatan pada fasilitas yang menyebabkan pencemaran dan/atau Kerusakan Laut; dan/atau
b. Tindakan tertentu untuk meniadakan pencemaran dan/atau kerusakan pada sumbernya.
5. 5. Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau Kerusakan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan penanggulangan kepada Menteri atau gubernur.

Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara dan apabila terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional. Di samping itu, tanggung jawab negara muncul sebagai akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional. Penegakan hukum atas perlanggaran sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi, sebagaimana diatur dalam Pasal 501 PP PPPLH, yang menyatakan bahwa:
1. Penegakan hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 500 ayat (4) huruf b dapat dilakukan dengan pembuktian pertanggungjawaban mutlak.
2. Pembuktian dengan prinsip pertanggungjawaban mutlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimintakan oleh penggugat dan termuat dalam surat gugatan.
3. Pertanggungjawaban mutlak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberlakukan kepada penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya:
a. Menggunakan B3;
b. Menghasilkan Limbah B3 dan/atau mengelola Limbah B3; dan/atau
c. Menimbulkan ancaman serius terhadap Lingkungan Hidup.
4. Tergugat dapat mengajukan pembelaan dengan pembuktian.
a. Tidak menggunakan B3, menghasilkan Limbah B3, atau menimbulkan ancaman yang serius; dan/atau
b. Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup bukan disebabkan oleh aktivitas Usaha dan/atau Kegiatannya tetapi disebabkan oleh pihak lain atau keadaan kahar (force majeur).
5. Tergugat dapat dibebaskan dari tanggung jawab mutlak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika dapat membuktikan bahwa Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup disebabkan oleh salah satu alasan:
a. Adanya bencana alam atau peperangan;
b. Adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. Akibat, perbuatan pihak lain yang menyebabkan terjadinya Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
6. Dalam hal Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup akibat perbuatan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, pihak lain bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.

Pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka prinsip yang dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak (absolut liability). Pada tahun 1971, IMCO mengeluarkan peraturan tambahan bagi CLC 1969 yakni the 1971 International Convention for International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund Convention) untuk memberikan cara efektif untuk menyelamatkan ganti rugi yang diatur dalam Konvensi CLC. Fund Convention menaikkan batas tanggung jawab menjadi $36 juta per kecelakaan. CLC 1992 mengartikan kerusakan pencemaran dalam Article 1 ayat (6) sebagai “Pollution damage means: loss or damage caused outside the ship by contamination resulting from the escape or discharge of oil from the ship, wherever”. Pemilik kapal dan tongkang dapat diminta pertanggungjawabannya atas kerusakan kualitas air laut sekitar Banten Selatan yang disebabkan oleh tubrukan kapal dan tongkang kandas. Pemilik kapal atau tongkang mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran yang disebabkan kapalnya akibat kecelakaan, sebagaimana diatur dalam Article 3 ayat (2) CLC 1992. Batas ganti menurut Article VI CLC 1992, menyatakan bahwa:
“Where the owner, after an incident, has constituted a fund in accordance with Article V, and is entitled to limit his liability
1. no person having a claim for pollution damage arising out of that incident shall be entitled to exercise any right against any other assets of the owner in respect of such claim;
2. the Court or other competent authority of any Contracting State shall order the release of any ship or other property belonging to the owner which has been arrested in respect of a claim for pollution damage arising out of that incident, and shall similarly release any bail or other security furnished to avoid such arrest”.

Kerusakan lingkungan hidup dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, sumberdaya alam dan lingkungan hidup pun harus dilindungi. Hakikat dari asas tanggung jawab mutlak yaitu pencemar atau perusak lingkungan hidup bertanggung jawab seketika atau langsung tanpa perlu membuktikan unsurunsur kesalahan. Pertanggungjawaban perdata dalam konteks penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Pertanggungjawaban perdata tersebut mengenal 2 (dua) jenis pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban yang mensyaratkan adanya pembuktian terhadap unsur kesalahan yang menimbulkan kerugian (fault based liability), dan pertanggungjawaban mutlak/ketat (strict liability), suatu pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan, dimana pertanggungjawaban dan ganti kerugian seketika muncul setelah perbuatan dilakukan. Dengan prinsip tanggug jawab mutlak dimaksud tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau menurut Mochtar Kusumaatmadja, prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai sesuatu yang tidak relevan mutlak dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak. Sistem strict liability merupakan sistem hukum yang sangat menguntungkan pihak korban dalam rangka mengklaim pertanggungjawaban pelaku. Sistem ini memang sangat tepat karena dalam abad teknologi yang mutakhir dan serba canggih, banyak masyarakat menjadi korban dampak modernisasi, termasuk pencemaran lingkungan. Dengan digunakannya strict liability sebagai sistem hukum yang baru, hambatan-hambatan yang dialami pihak penderita dapat diminimalisir. Kemudian hal lain yang dapat diambil sebagai hal yang menguntungkan korban ialah secara asumtif pelaku telah dinyatakan bertanggung jawab, terlepas dari apakah ia bersalah atau tidak. Ini merupakan perkembangan yang sangat pesat dalm ilmu hukum.
Penegakan hukum lingkungan hidup dapat dilakukan dengan mekanisme gugatan perbuatan melawan hukum. Hal tersebut dikarenakan sesuai dengan amanat dari Pasal 84, Pasal 87 dan Pasal 91 UU PPLH yang memberikan ruang kepada korban kerusakan lingkungan hidup untuk mempertahankan haknya dan dapat pula menuntut pelestarian lingkungan yang rusak akibat kapal kandas. Setiap negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang atau individu atau badan hukum dalam hal ini perusahaan yang berada dalam jurisdiksinya. Negara-negara yang menjalin hubungan internasional harus bekerja sama dalam menerapkan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab atas kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi. Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara merupakan prinsip yang sangat penting dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab negara. Setiap bentuk ganti rugi yang ditetapkan berbeda sesuai dengan besaran dan seberapa berbahaya dan merugikannya pencemaran yang disebabkan oleh tubrukan kapal dan tongkang kandas tersebut. Konvensi menentukan bahwa klaim ganti rugi dapat diajukan langsung kepada pihak penanggung atau pihak lain yang memberikan jaminan. Penanggung menggunakan asas strict liability meskipun ada kemungkinan terdapatnya fakta yang mengecualikan asas tersebut.

MM
15/07/22

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *