Hak imunitas Advokat Dicederai, Ancaman Untuk Keadilan.
Oleh Daddy Hartadi,S.H.
Mahasiswa Magister Hukum STIH Painan
Pemberitaan dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019 yang sedang disidik kejaksaan agung menjadi ramai dan viral, karena berujung pada penangkapan seorang advokat yang sedang mendampingi kliennya memberikan jasa hukum pada perkara tersebut.
Profesi seorang advokat memiliki kedudukan hukum yang jelas yang diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Untuk menjadi advokat,haruslah terpenuhi semua prasyarat dan syarat yang diatur oleh UU Advokat.
Dalam menjalankan profesinya seorang advokat pun telah melalui berbagai proses, seperti wajib mengikuti pendidikan khusus profesi advokat, mengikuti ujian advokat, magang di Kantor hukum selama 2 Tahun Beturut-turut, diangkat sebagai advokat oleh organisasi advokat, dan diambil sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Proses itu tidaklah mudah, seorang advokat yang Telah menempuh semua prasyarat dan syarat menjadi advokat, pastilah mengerti bagaimana menjalankan profesi advokat sebagai profesi officium nobile, yang diatur Undang-undang dan kode etik advokat.
Selain itu, negara memberikan perlindungan hukum untuk menjamin kepastian hukum dengan memberikan hak imunitas kepada advokat yang sedang menjalankan profesinya, guna pembelaan hukum kliennya. Jaminan yang diberikan negara itu, seorang advokat tidak dapat digugat secara perdata, dan dituntut secara pidana sebagaimana diatur pasal 16 UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diperluas dengan putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 melalui pengujian Pasal 16 UU yang memperluas hak imunitas/perlindungan bagi advokat ketika menjalankan tugas profesinya yang tidak hanya di dalam persidangan, tetapi juga di luar persidangan, sepanjang profesi yang sedang dijalankan berdasarkan itikad baik.
Perlindungan hukum dan kepastian hukum dari negara ini justru dicederai sendiri oleh negara, melalui Kejaksaan Agung RI yang dapat mengancam keadilan,yaitu melakukan penangkapan kepada seorang advokat yang sedang mendampingi kliennya, yang diduga mempengaruhi kliennya untuk tidak memberikan keterangan dalam suatu dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019, sehingga dianggap mempersulit penanganan tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh aparat kejaksaan agung.
Penyidik kejaksaan agung menjerat rekan advokat Didit Wijayanto Wijaya, dengan pasal 22 UU RI No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dijuntokan pada pasal 55 KUHP yang dianggap turut serta melakukan tindak pidana yang disangkakan pada tersangka. Sebagaimana diatur dalam pasal 22 UU 31/1999 “Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,
atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sementara yang diatur dalam pasal 55 KUHP ayat (1) : Dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana : (1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan ; (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan, ayat (2) : Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Prof. Eddy Hiariej, pernah berpendapat terhadap PENYERTAAN terdapat 2 pandangan :
a. Pandangan yang menyatakan bahwa penyertaan adalah persoalan pertanggung jawaban pidana dan bukan merupakan suatu delik karena bentuknya tidak sempurna.
b. Pandangan yang menyatakan bahwa penyertaan adalah aturan aturan yang memberi perluasan terhadap norma yang tersimpul dalam UU, artinya adanya perluasan terhadap perbuatan yang dapat dipidana.
Bahwa UU Advokat pada Pasal 14
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Dan yang diatur dalam Ketentuan Umum dalam UU Advokat, pada Pasal 1 ayat (1) Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Ayat (2) Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Sejatinya semua pendapat hukum,nasihat hukum,konsultasi hukum, menjalankan kuasa mewakili,mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain adalah sesuatu yang dilindungi undang-undang sebagai jasa hukum yang diberikan advokat kepada kliennya.
Tidak serta Merta, aparat penegak hukum menjerat seorang advokat dengan pasal 55 KUHP yang menduga menjadi orang yg turut serta melakukan sebuah tindak pidana yang dilakukan seorang pelaku tindak pidana. Karena apa yang dilakukan advokat sepanjang dengan itikad baik adalah rangkaian pekerjaan seorang advokat sebagai penegak hukum guna mencarikan keadilan bagi kliennya dengan memberikan jasa hukum yang jelas dan nyata dilindungi Undang-undang.
Dalam delik pasal 55 KUHP yg dijeratkan pada seorang advokat Didit Wijayato Wijaya juga menjadi tidak tepat, mengingat pasal 55 KUHP adalah ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana Umum. Sementara kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan hanya ada pada perkara tindak pidana tertentu bukan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf (d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;.
Dalam hal menjalankan wewenang, jaksa hanya bisa melakukan kewenangannya sebagai penuntut umum untuk perkara tindak pidana umum.
Kasus yang menjerat rekan advokat dalam perkara ini bisa menjadi objek praperadilan untuk menguji apakah advokat yang ditangkap dan ditahan serta ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa dengan delik pasal 55 KUHP apakah sah secara hukum? Mengingat kewenangan menyidik pada aparatur kejaksaan hanya pada perkara tindak pidana tertentu. Ini perlu dilakukan pengujian apakah ada yang dilanggar oleh aparatur kejaksaan,mengingat advokat juga seorang penegak hukum yang sedang menjalankan tugas profesinya sesuai UU Advokat, sama seperti Jaksa yang menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai UU kejaksaan. *DH
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan berupaya meningkatkan kesadaran hukum kepada masyarakat. Salah satunya dilakukan…
Segenap Jajaran Pimpinan dan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Mengucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia…
Tangerang, Sabtu (27/07/24) pukul 09.00 - 13.00 wib Pembuat Undang Undang dan aturan untuk kesejahteraan…
Tangerang_Jumat (12/7/24) Dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan (STIH…
Tangerang_(Jumat, 05/07/2024) STIH PAINAN melaksanakan Acara Audiensi dan Sosialisasi kepada Kepala Desa dan Staff Perangkat…
Tangerang_Jumat, (21/06/2024) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan bekerja sama Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia…
View Comments
Semoga tidak ada kasus seperti ini lagi, jangan sampai masyarakat berpendapat bahwa kejaksaan telah menyalahgunakan kewenangannya.