Al-Jabiri (Muhammad Abed al-Jabiri, 1991: 96), pernah mengatakan bahwa kebudayaan Islam adalah “kebudayaan fiqih”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung, sama sahihnya dengan arti kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah “kebudayaan filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”. Eksistensinya sebagai sebuah sistem pengetahuan (nizam al-magrifa) dan kodifikasi ajaran praktis agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap muslim yang pernah belajar dan bisa membaca al-Quran, niscaya juga membaca dan menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqih. Pandangan yang diamini dan paralel dengan banyak pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqih merupakan dimensi ajaran agama yang paling mapan hidup dalam belahan masyarakat Muslim manapun. Dari sini pemikiran untuk melegal-formalkan hukum Islam melalui institusi negara dianggap sebagian orang sebagai hal penting.
Potret sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia hakekatnya dapat dibaca mulai datangnya Islam untuk kali pertama di negeri ini. Secara sosiologis dan kultural, ia telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Akulturasinya dengan tradisi (adat) terkadang melahirkan sikap pensakralan yang ekstrim. Di beberapa daerah seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum ini diperlakukan tanpa “reserve” sederajat dengan hukum adat atau tradisi leluhur setempat. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pepatah yang mengatakan “adat bersendi syara”, syara” bersendi kitabullah”, dan “syara” mengata, adat memakai”, yang keduanya merefleksikan bagaimana menyatunya hukum Islam ini dengan adat istiadat setempat. Sifat fleksibel dan elastis yang dimiliki hukum Islam memungkinkan semuanya ini bisa terjadi.
Menyangkut aspek penyelesaian perkara-perkara antar umat Islam, seiring berdirinya kerajaan Islam, mulai pula dilakukan pergantian wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga tahkim, kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk untuk lebih menegakkan hukum Islam dan penjabaran lebih lanjut aktifitas keulama-an dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat (Bustanul Arifin, 1996: 78). Maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa, tempat di antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatra, dan Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan bukan hanya menuntaskan persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga masuk menangani persoalan pidana.
Secara umum, pada awalnya, politik kolonial Belanda terhadap hukum Islam bisa dianggap cukup menguntungkan, setidaknya sampai akhir abad 19 M. Dikeluarkannya Staatsblad No. 152 tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui perlunya pembentukan lembaga peradilan Agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam. Dari sinilah muncul Teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927), yang berarti bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan. Hukum Islam telah diamalkan secara penuh oleh umat Islam ketika itu. Dengan adanya teori reception in complexu, hukum Islam tengah berada di atas angin bagi pemberlakuannya, sejajar dengan sistem hukum lainnya (Muhammad Daud Ali, 1993: 219).
Namun demikian, seiring adanya perubahan orientasi politik yang cukup signifikan, Belanda mulai melakukan penyempitan bagi ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Fenomena ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk mengeleminasi perkembangan legislasi dan legalisasi hukum Islam di Indonesia, yang tanpa disadari ternyata semakin mengokohkan eksistensinya. Perubahan orientasi politik ini telah mengantarkan satu posisi krisis bagi hukum Islam, yaitu keberadaannya sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat dianggap tidak lagi menguntungkan bagi kepentingan politik
Mereka menyadari bahwa hal ini kalau dibiarkan, akan menghambat ekspansi dan juga sosialisasi (dakwah) agama mereka. Melalui ide yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht dengan tokoh intelektualnya Van Vollenhoven (1874-1933), dan C.S Hurgronye (1857-1936) yang kemudian dikenal dengan Teori Receptie, mereka melakukan upaya penyempitan itu. Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh bagi eksistensi hukum Islam ketika itu, bahkan hingga sekarang, sehingga sangat wajar bila Hazairin menyebutnya sebagai teori “iblis”.
Dalam catatan Soetandyo Wignjosubroto, (1995: 133), secara praktis teori Receptie ini telah berhasil diupayakan pelaksanaannya di lapangan oleh Ter Haar, salah seorang murid Van Vollenhoven yang menjadi guru di Rechtshogestschool di Jakarta. Sepanjang tahun 1930-1942, Ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan dipakai di badan-badan pengadilan negari. Dia cukup berhasil mengukulkan hukum adat atas dasar dan atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi Landraad. Salah satu caranya yaitu dengan menghimpun dan menyusun pengertian-pengertian dan konsep-konsep hukum adat tanpa merancaukannya dengan pengertian-pengertian dan konsep-konsep yang semula hanya dikenali dengan terminologi Belanda.Usaha praktis Ter Haar ini, telah mengantarkan hilang dan redupnya eksistensi hukum Islam, terpenetrasi oleh kedudukan hukum adat yang semakin legitimate.
Dengan munculnya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, Dengan bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Stb. 1937 No. 116 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk mengadili masalah waris dan lainnya, yang kemudian perkara-perkara ini dilimpahkan wewenangnya kepada Landraad (Pengadilan Negeri) (A. Qodri Azizy, Gama Media, 2002: 155).
Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa prakemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan mereka, berada pada posisi yang tidak pasti. Di samping didorong olch kepentingan kolonialisme, juga dikarenakan dalam wilayah ini tidak ada satu sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif, dan yang temyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam lama di Nusantara yang anggitannya belum terkonstruk dengan baik. Kenyataan ini merupakan kegagapan tersendiri, ketika hukum Islam ini harus berhadapan secara sekaligus dengan sistem hukum yang relatif lebih maju (Belanda) dan sistem hukum adat. Bukan saja proses transplantasi dengan hukum adat yang belum paripurna, namun juga karena nuansa politik dalam proses eklektisisme dengan hukum Barat (Belanda) ini begitu kental, membuat semuanya berjalan dengan tidak wajar.
Yang patut dicacat dari perjuangan mempertahankan keberadaan hukum Islam pada masa pasca kemerdekaan ini adalah banyaknya teori yang bermunculan, sebagai counter theory terhadap teori Reseptie yang lahir pada masa kolonial Belanda, yang cukup meresahkan itu. Paling tidak ada tiga teori yaitu: pertama, teori Receptie Exit, dikemukakan oleh Hazarin, yang menyatakan bahwa teori Receptie harus exit (keluar) dari teori hukum Islam Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta al-Qur’an dan al-Hadist. Kedua, teori Receptio a Contrario dikemukakan oleh Sayuti Thalib, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalam hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama. Ketiga, teori Existensi, yang mempertegas teori Receptio a Contrario dalam hubungannya dengan hukum Nasional, dikemukakan oleh Ictijanto. Menurut teori Existensi ini, hukum Islam mempunyai spisifikasi (Abdul Halim, 2000: 83-84), yaitu:
Setelah merdeka, perjuangan pembentukan hukum nasional di Indonesia setidaknya memasuki tiga masa, yaitu masa transisi (1940-1950), masa pasca revolusi yaitu sebelum dan sesudah masa Demokrasi terpimpin (1950-1966), dan masa Orde baru (1966-1998). Relevansi periodeisasi ini mungkin perlu ditambahkan dengan periode masa reformasi yang berlangsung dari 1998 hingga sekarang. Sepanjang periode ini, pembangunan hukum (positif) mulai coba dikerjakan berdasarkan kebijakan nasional, sebagaimana digariskan oleh pemukapemuka bangsa Indonesia (the state founders). Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana dengan perjuangan legislasi dan positivisasi hukum Islam?
Perjuangan mereka mulai mendapatkan hasil, ketika akhimya hukum Islam mulai mendapat pengakuan secara konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fiqih yang dianggap representatif telah disyahkan oleh pemerintahan Indonesia. Di antaranya adalah UU No. I tahun 1974 tentang perkawinan dan PP. No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milikk Khusus untuk yang terakhir, merupakan tindak lanjut dari undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, Dalam satu pasalnya dari UU ini dinyatakan bahwa perwakafan tanah milik berhak memperoleh perlindungan hukum.
Setelah lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan nasib legalisasi hukum Islam di atas, pada tahun 1989, lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga Peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah memancing lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pelengkap. Maka adalah wajar jika pada tahun 1991 Presiden RI. Mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI sendiri disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus perkara dalam Peradilan Agama, Terlepas dari segala kontroversi latar belakang kelahiran dan materi dari pasal-pasalnya, fenomena mutakhir mengisyaratkan bahwa keberadaan KHI mulai diproyeksikan sebagai undang-undang resmi negara yang dipergunakan dalam lingkungan peradilan agama.
Selain beberapa legislasi di atas masih ada beberapa peraturan perundangundangan lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, di antaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolahan zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Secara umum, perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia dewasa ini, telah sampai pada tingkat yang cukup memuaskan. Sejumlah dimensi ajaran yang selama ini belum tuntas diperjuangkan, mulai menampakkan tanda-tanda akan diterima. Memang, terdapat ajaran hukum Islam yang mempunyai kendala untuk dilegalkan, dengan alasan substansinya tidak sesuai dan bertabrakan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Untuk hal demikian, upaya legalisasi berbagai elemen hukum ini bisa jadi mustahil akan berhasil. Karena bersifat umum, eksistensi peraturan yang lebih dahulu ada ini biasanya diperuntukkan untuk semua golongan, dan bersifat universal. Jika dipaksakan untuk diganti, kemungkinan besar akan menimbulkan gejolak sosial, yang cost-nya sangat mahal. Dengan demikian, pemilahan dan penentuan skala prioritas materi hukum Islam yang dicitakan legalisassnya menjadi Langkah awal yang harus ditempuh. Bukankah melegalkan status peraturan atau ketentuan hukum yang secara sosiologis telah hidup dalam masyarakat terasa lebih mudah dibandingkan dengan memaksakan hukum idial yang terdapat dalam kitab-kitab hukum? Begitu juga tentunya dengan legalisasi hukum Islam.
Terlepas dari perlu tidaknya proses legalisasi hukum Islam melalui institusi negara, kehadiran pemikiran-pemikiran hukum Islam individual menjadi urgen dan signifikan. Keberadaanya sangat memperkaya dan bisa dijadikan alternatif lain dari pemikiran hukum Islam yang akan dipraktekkan. Yang terpenting bahwa, ia dapat diambil sebagai wacana penyeimbang (counter dicourse) atas upaya legislasi negara. Segala bentuk penyelewengan dan kesalahan dari proses kodifikasi hukum (Islam atau lainnya), segera dapat dikoreksi, atau setidaknya dieliminir.
Bahkan, seiring bergulirnya gerakan civil society dan demokratisasi, hadirnya pemikiran hukum Islam alternatif, dapat dimaknai sebagai fiqih pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat yang berbudaya (civilized) dengan membangun penguatan dan independensi yang cukup tinggi masyarakat, sehingga tidak tergantung terhadap melodi kebijakan negara dan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis. Hal ini memungkinkan terjadi karena, watak eksklusif pemikiran hukum Islam yang mengarah pada satu gerakan deidiologi fiqih, sebagaimana terlihat dalam catatan sejarah, terbukti telah mampu menempatkan wilayah hukum Islam di luar mainstream proses pembakuan pengintegrasian hukum Islam ke dalam struktur Negara.
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan berupaya meningkatkan kesadaran hukum kepada masyarakat. Salah satunya dilakukan…
Segenap Jajaran Pimpinan dan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Mengucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia…
Tangerang, Sabtu (27/07/24) pukul 09.00 - 13.00 wib Pembuat Undang Undang dan aturan untuk kesejahteraan…
Tangerang_Jumat (12/7/24) Dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan (STIH…
Tangerang_(Jumat, 05/07/2024) STIH PAINAN melaksanakan Acara Audiensi dan Sosialisasi kepada Kepala Desa dan Staff Perangkat…
Tangerang_Jumat, (21/06/2024) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan bekerja sama Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia…