Konsep Mr Djuanda dan Prof Muchtar Kusumaatmadja sebagai creator negara kepulauan yg diakui oleh bangsa² lain telah melahirkan “luas” wilayah indonesia menjadi lebih luas, lautan menjadi berdaulat dan menjadikan Hak Berdaulat .
Hak-hak Berdaulat Negara Pantai
Kemudian Pasal 56 United Nations Convention on the Law of the Sea (“UNCLOS”) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) menyebutkan yurisdiksi dan tugas dari negara pantai di wilayah ZEE sebagai berikut:
Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai:
Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploritasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi ini berkenaan dengan:
pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;
riset ilmiah kelautan;
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.
Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI.
Yoshifumi Tanaka dalam bukunya The International Law of the Sea merangkum hak berdaulat negara pantai sebagaimana dimaksud dalam UNCLOS:
Hak berdaulat dari negara pantai hanya dapat dilakukan di wilayah ZEE.
Hak berdaulat dari negara pantai terbatas pada hal yang diatur oleh hukum internasional (ratione materiae).
Negara pantai dapat melaksanakan fungsi legislatif dan pelaksanaan yurisdiksi.
Negara pantai dapat melaksanakan hak berdaulatnya di wilayah ZEE pada semua orang terlepas dari kewarganegaraan mereka (sehingga tidak ada limitasi ratione personae).
Hak berdaulat dari negara pantai terhadap wilayah ZEE merupakan sesuatu yang eksklusif dalam artian pelaksanaannya membutuhkan persetujuan dari negara pantai tersebut. Memang betul bahwa negara lain memiliki hak untuk mengakses sumber kekayaan alam di dalam ZEE sebuah negara pantai.[4] Meski demikian, hal tersebut hanya dapat dilakukan atas seizin negara pantai.
Sehingga bisa disimpulkan, hak negara pantai di wilayah ZEE hanya berkaitan dengan keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana disebutkan di atas. Jadi, negara pantai tidak dapat menggunakan yurisdiksinya di luar keperluan tersebut.
Konsep beliau ; Mr. Djuanda dan Prof. Muchtar Kusumaatmadja menjadikan laut antar pulau sebagai kesatuan yg utuh tidak terpisahkan dalam bingkai yurisdiksi dan melahirkan filosofis azaz CABOTAGE dalam Hukum Maritim yang telah memberikan keleluasaan yang seluas luasnya ekplorasi bisnis Pelayaran bangsa ini dalam flag state sebagai kebanggaan dan kedaulatan yang berdampak guna pada perekonomian dan kesejahteraan .
Pertemuan Hukum Laut yang secara bingkai aturan adalah telah FINAL oleh Mr Djuanda dan Prof Muchtar diakui dimata dunia, dengan Hukum Maritim sebagai upaya pengembangan nilai² yg telah dituangkan dalam final bingkai hukum laut tersebut oleh beliau, adalah tantangan terbesar yg ada sekarang dan kedepan tentang mengisi dan memberdayakan Maritim sebagai kekuatan strategis dan keunggulan ekonomi suatu negri yang diberikan atas anugerah Ilahi, disinilah sesungguhnya ujian suatu bangsa yang selalu berkata ,”Kami adalah bangsa bahari dari negri maritim yang lahir dari gagahnya nenek moyang kami seorang pelaut mengarungi seluruh samudera bumi…” , namun dibalik fakta sejarah apakah kita sudah menjadi bangsa Maritim ….!?, jaman Maja Pahit dan Sriwijaya hampir belahan asia dan afrika bahkan sebagian eropa telah mengenal PELAUT dan kapal² yang berisi manusia dengan kulit “tembaga” , itulah nenek moyang kita yang kulitnya legam kekar tersinar terbakar matahari menyerupai warna tembaga, fakta sejarah tentu dapat dilihat juga dan dibaca dari peninggalan sejarah yang menyatakan bahwa kita bangsa bahari dari negri maritim seperti goresan pada dinding candi Borobudur , tidak ada yang membantah bahwa kita bangsa Maritim ! , dan ketika memasuki pasca kemerdekaan dapat kita saksikan bagaimana Soekarno meletakan doctrine maritim pada generasi bangsa ini , bagaimana upaya hebatnya beliau membekali dan mengadakan kapal militer yang begitu banyak pada era perebutan Irian Barat serta upaya Soekarno menguatkan armada kapal pemerintah pada kapal² niaga yang memberi access kemudahan menjembatani antar pulau dengan menguatkan dalam mewujudkan politik hukumnya tentang maritim melalui pengangkatan Ali Sadikin sebagai komando Departemen Kementerian Maritim, begitu pun Soekarno dalam pidatonya berkata saat meremikan Akademi Ilmu Pelayaran di Ancol Jakarta ,
” ……Sebabnya ialah kita di zaman yang lampau itu adalah satu bangsa pelaut. Bahar, elbaher artinya laut. Zaman bahari berarti zaman kita mengarungi bahar, zaman kita mengarungi laut, zaman tatkala kita adalah bangsa pelaut …” (Soekarno- Presiden Indonesia), itulah Doctrine maritime yang beliau lakukan sebagai upaya mewujudkan negara maritime.
Lalu apakah sekarang indonesia negara maritim….!?, jawabannya jauh panggang dari api , karena kata kunci negara maritim adalah bagaimana pemberdayaan dan keunggulan kelola maritim yg berdampak pada Keekonomian dan tercermin dari penegakan hukum dan kedaulatan atas lautan yang Allah beri , sekali lagi paradigma negara maju adalah negara yang menguasai teknologi bukan yg kaya akan sumber alam, begitupun Negara maritim adalah negara yang mampu mengelola lautan dan aspek maritim menjadi berdaya dalam nilai keekonomian maritim, bukan hanya memiliki luasnya lautan.
Jika Mr Djuanda penggagas merebut laut antar pulau sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dalam bingkai NKRI, dan prof muchtar sebagai arsitek negara kepulauan dan pengakuan hak berdaulat atas ZEE , maka kini saatnya kita merebut Kedaulatan dan hak berdaulat atas nilai Selat Malaka dan merubahnya menjadi SELAT SUMATRA menjadi branding yang mengembalikan dari sisi sejarah hebatnya kita sebagai kerajaan maritim yaitu Sriwijaya dan Majapahit, dan secara fakta sebagai pemilik hak lintas kedaulatan terpanjang dibanding Malaysia dan Singapore , mari bung rebut kembali ….!!!
Ibarat frame suatu kanvas , frame itulah Hukum Laut yg di gagas oleh Mr Djuanda dan prof Muchtar !, tapi kini kanvas itu harus diisi goresan yang bernilai maka itulah HUKUM MARITIM yang terus berkembang seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi dalam Kemaritiman.
Kedaulatan dan Kesejahteraan adalah dua sisi coin yang harus bersama dalam ruang keadilan dan kepastian hukum
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan berupaya meningkatkan kesadaran hukum kepada masyarakat. Salah satunya dilakukan…
Segenap Jajaran Pimpinan dan Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan Mengucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia…
Tangerang, Sabtu (27/07/24) pukul 09.00 - 13.00 wib Pembuat Undang Undang dan aturan untuk kesejahteraan…
Tangerang_Jumat (12/7/24) Dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan (STIH…
Tangerang_(Jumat, 05/07/2024) STIH PAINAN melaksanakan Acara Audiensi dan Sosialisasi kepada Kepala Desa dan Staff Perangkat…
Tangerang_Jumat, (21/06/2024) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan bekerja sama Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia…