Penerapan Asas Retroaktif dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat.
Oleh Ramses Terry, SH.MH.MA
Pemerhati Hukum & Kebijakan Publik, Praktisi Hukum & Akademisi, Wakil BID UPA DPN Peradi.
Ciri dari suatu negara hukum yaitu adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap penyelenggara negara beserta seluruh warga negaranya. Dengan demikian, bahwa hakekatnya hak asasi manusia yaitu merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada setiap insan manusia, yang bersifat universal, maka oleh sebab itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh dibiarkan atau diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
NKRI merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, secara kontitusional menganut prinsip menjamin, menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Setiap negara menjamin dan mengakui serta menjungjung tinggi HAM berdasarkan prinsip keselarasan dan keserasian hidup manusia sebagai individu dan masyarakat yang bersumber dari kodratnya dan sebagai makhluk sosial yang mendapatkan jaminan yang nyata sesuai dgn Konstitusi dan Peraturan Perundang Undangan yang berlaku.
Secara Yuridis Konstitusional, bahwa HAM telah mendapatkan pengakuan dengan jelas dan tegas, akan tetapi didalam pelaksanaannya atau didalam Implementasinya sering kali HAM belum mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan amanat Konstitusi dasar dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Apabila kita melihat munculnya berbagai kejahatan dan pelanggaran terhadap HAM yaitu tidak dapat dipisahkan dengan situasi dan kondisi dari sosial politik pada saat penguasa atau setiap penyelenggara negara yang menjalankan kekuasaannya.
Kejahatan kejahatan dalam perkembangannya semakin beragam dengan berbagai faktor penyebab terjadinya kejahatan juga semakin kompleks. Terkait dengan perkembangan kejahatan yang semakin kompleks, kita bisa melihat keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, sehingga berdampak juga pada eksistensi hukum pidana dalam posisi yang delematis, serta dengan keadaan tersebut dapat di manfatkan oleh pihak pihak untuk menghindar dari jeratan hukum.
Apabila kita melihat pelanggaran hukum yang berskala besar di Indonesia, seperti kejahatan terorisme, peristiwa Timtim pasca jajak pendapat tahun 1999, Peristiwa Tanjung Priuk tahun 1984, Peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 oleh Terorisme yang telah menimbulkan banyak korban ratusan jiwa serta harta benda, sehingga menjadi salah satu perhatian dunia internasional.
Dalam proses ketatanegaraan RI sejak proklamasi kemerdekaan, kasus kasus HAM yang pernah terjadi belum pernah ada langkah langkah untuk mengungkapnya atau diselesaikan. Dengan adanya asas legalitas formal yang hanya bertumpu pada perundang undangan saja, karna tidak cukup memadai untuk dijadikan dasar dalam melakukan serangkaian penyelidikan sampai pada pemeriksaan dalam persidangan.
Pemberlakuan asas legalitas dalam ketentuan pidana ini akan tetap terus diperdebatkan dalam ruang lingkup ilmu hukum, karena kedudukannya sebagai asas yang sangat fundamental. Kecuali, asas tersebut dianggap belum dapat diterapkan secara tegas dan dirasa belum mampu memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat.
Hal ini akan menjadi persoalan, apa lagi didalam rumusan Pasal 1 ayat (2) KUHP, sangat ditegaskan bahwa dalam hal terjadi perubahan perundang undangan setekah tindak pidana dilakukan, dipakai ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
Didalam rumusan dan ketentuan tersebut merupakan bentuk pengecualian terhadap rumusan Pasal 1 ayat (1) sehingga oleh sebagian pakar hukum pidana menggangap rumusan Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan celah untuk menyimpang asas legalitas dengan memberlakukan asas retroaktif.
Diera reformasi, harus diakui terkait upaya legislatif dalam membuat aturan secara konkrit dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No XVII/MPR Tahun 1998 tentang HAM dan dilanjutkan oleh pemerintah dengan mengesahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan selanjutnya upaya pemerintah mengesahkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam rangka penegakan hukum terhadap adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No.26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, yang khususnya pelanggaran berat yang terjadi sebelum di undangkannya UU Tersebut, masi mengalami banyak kelemahan yang terkait langsung dengan hukum acaranya.
Pengadilan HAM Ad Hoc menganut asas retroaktif yaitu merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum, selain itu Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang bersifat sementara dan hanya berlaku untuk mengadili kejahatan kejahatan tertentu dalam satu wilayah tertentu dan jangka waktu tertentu atas usul DPR berdasarkan suatu peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.
Sehingga pemberlakuan asas retroaktif dalam penyelesaian tindak pidana pelanggaran HAM berat di Indonesia yaitu perlu dilakukan dengan suatu penelitian lebih lanjut, untuk dikaji dan dianalisis, serta untuk menemukan prinsip prinsip dasar yang digunakan sebagai landasan kebenaran untuk memberlakukan asas retroaktif tersebut.
Sehingga masi terdapat ketentuan didalam UU tersebut yang melarang pemberlakuan hukum secara surut, namun di lain pihak justru UU memberlakukan hukum secara retroaktif, sehingga masi terjadi konflik norma bahkan ada yang bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.
Dengan tegas diatur didalam rumusan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yaitu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dan didalam rumusan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yaitu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Sehingga hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan hak obsulute dari manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi sesuai dengan rumusan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.