Edukasi Hukum tentang penerapan hukum pelaku buly dan pelecehan oleh Dr Dwi seno wijanarko SH MH Cpcle

Dunia tidak lagi menutup mata dan telinga setiap kali perempuan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual.

Termasuk Indonesia. Meski Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan, masyarakat Indonesia mulai bergotong royong untuk menyuarakan, mencegah, bertindak, hingga meningkatkan kepedulian terhadap perilaku kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya yang terjadi di ruang publik ” Ucap Dr Seno.

Hebohnya dugaan pelecehan seksual dan bullying yang terjadi pada KPI pusat menggegerkan masyarakat luas.
Pada media sosial sudah tertera nama nama yang diduga menjadi pelaku

Menurut nya melihat kasus ini sebagai kasus yang sangat menarik. “Pelecehan seksual sangat sulit sekali dibuktikan, namun tidak dengan bullying yang mana dalam permasalahan ini juga disertai dengan kekerasan fisik.

“Bullying yang disertai kekerasan fisik sebetulnya bisa dibuktikan dengan Visum et Repertum, masalahnya adalah kejadian ini sudah beberapa tahun yang lalu terjadi.

Telah beredarnya pemberitaan pernyataan yang tertulis MS mengadukan nasibnya atas perbuatan pada Presiden Joko Widodo, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Menkopolhukam Mahfud MD, dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan

Untuk itu “Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menegaskan tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual dan perundungan yang dilakukan oleh siapa pun.

Hal itu ditegaskan Ketua KPI Pusat Agung Suprio dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/9/2021) menanggapi adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami pegawai KPI berinisial MS, dan dilakukan terhadap sesama pegawai dan beliau “Turut prihatin dan tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual, perundungan atau bullying terhadap siapa pun dalam bentuk apa pun,” Ucapnya.

Ditempat yang berbeda dan sebelumnya pada Jumat (3/9) ” Komnas HAM batal menggali informasi terkait pengaduan MS, salah seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual oleh rekan kerja di lembaga itu.

Menurut keterangan” MS batal memenuhi undangan Komnas HAM pada Jumat (3/9) lalu karena sedang beristirahat usai menjalani rangkaian pemeriksaan di Polres Metro Jakarta Pusat, Kamis (2/9).

Ada pun kasus perundungan dan kekerasan seksual yang dialami MS diketahui melalui pesan berantai yang disebar di sejumlah grup media pada Rabu (1/9) malam.

Dalam pesan berantai di aplikasi perpesanan, MS mengaku telah menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di Kantor KPI Pusat selama periode 2011-2020 .

Menurut pengakuannya, MS mengalami trauma dan stres akibat pelecehan seksual dan perundungan yang menjatuhkan martabat dan harga diri korban.

Lebih lanjut Founder LawFirm DSW & Partner Asst Prof Dr Dwi Seno Wijanarko. SH MH CPCLE merupakan Ahli Hukum Pidana menjelaskan
” Pengertian Pelecehan Seksual Menurut Para Ahli,Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tak diinginkan, termasuk permintaan dan perilaku lainnya yang secara verbal atau fisik merujuk pada seks.

Walaupun secara umum wanita yang sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.

Dengan demikian “Pelecehan seksual adalah perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau nonfisik yang tidak dikehendaki dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi, melakukan transmisi yang bermuatan seksual dan melakukan sentuhan fisik,” jelasnya .

Bullying yang disertai kekerasan fisik sebetulnya bisa dibuktikan dengan Visum et Repertum, masalahnya adalah kejadian ini sudah beberapa tahun yang lalu terjadi.”

Ahli Hukum Pidana Prof DR Dwi Seno Widjanarko, SH, MH, CPCLE berpendapat bahwa kasus ini akan cukup sulit dibuktikan. “Jika dalam peristiwa ini tidak ada alat bukti misalnya berupa petunjuk, surat visum, foto ataupun video, dan hanya ada saksi yang mendengar saja dan tidak melihat, maka kesaksian tidak cukup menjadi bukti yang sempurna. kenapa demikian? karena saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalaminya.

Sementara itu menurutnya pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan.

“Aktifitas yang konotasi seks bisa dianggap pelecehan seks jika mengandung adanya pemaksaan, kehendak sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban dan mengakibatkan penderitaan pada korban,” ucap Dosen Fakultas Bhayangkara Jakarta.

Oleh karena itu” Mitos dan Realitas menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP ” menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin.

Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya

Menurut Dr Seno dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.

Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments”.

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidak inginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar.

Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Untuk itu pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.

Dalam Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:

1) keterangan saksi
2) keterangan ahli
3) surat
4) petunjuk
5) keterangan
terdakwa.

Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus Hukum” kata Dr.Seno” visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan ” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *